Ahlus Sunnah memiliki prinsip bahwa haram memberontak kepada penguasa muslim dengan lisan atau dengan anggota badan.
Dalil dari prinsip ini adalah hadits berikut.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَلْيَصْبِرْ ، فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْرًا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang tidak suka sesuatu pada pemimpinnya, bersabarlah. Barangsiapa yang keluar dari ketaatan pada pemimpin barang sejengkal, maka ia mati dalam keadaan mati jahiliyah.” (HR. Bukhari, no. 7053 dan Muslim, no. 1849).
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ حُجَّةَ لَهُ ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ في عُنُقِهِ بَيْعَةٌ ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan pada penguasa, maka ia akan bertemu dengan Allah pada hari kiamat dalam ia tidak punya argumen apa-apa untuk membelanya. Barangsiapa yang mati dan di lehernya tidak ada bai’at, maka ia mati seperti keadaan orang jahiliyah.” (HR. Muslim, no. 1851).
Memberontak di sini bisa jadi didasari keyakinan, bisa jadi dengan menghasut dengan lisan, bisa jadi dengan amalan melepaskan diri dari ketaatan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Memberontak kepada imam bisa jadi dengan senjata, bisa jadi dengan ucapan dan perkataan.” (Fatawa Al-‘Ulama Al-Akabir, hlm. 94)
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Memberontak pada penguasa bukan hanya dengan senjata. Memberontak bisa pula dengan ucapan, celaan, hasutan, yang menyebabkan tersebarnya fitnah dan kerusakan. Bisa jadi dengan hasutan lebih parah dibanding dengan senjata. Memberontak pada penguasa bisa jadi dengan senjata, bisa jadi dengan hasutan, bisa jadi karena memang sudah menjadi prinsip akidah. Jika tidak dengan ucapan namun ada keyakinan bolehnya memberontak pada ulil amri, maka hal ini sama dengan pemahaman akidah Khawarij.” (Mawqif Al-Muslim min Al-Fitan wa Al-Muzhaharat wa Ats-Tsauraat, hlm. 20)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ar-Rajhi hafizhahullah berkata, “Tidak boleh memberontak pada penguasa walaupun ia seorang yang fasik. Tidak boleh memberontak dengan ucapan, perbuatan, dengan senjata, dan tidak pula dengan kalam.” (Al-Hidayah Ar-Rabaaniyyah fi Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, 2:556)
Adapun hukum demonstrasi:
- Jika demonstransi itu berniat menggulingkan penguasa muslim yang ada, termasuk pula menghasut untuk melakukan demonstrasi semacam itu, hal ini merupakan pemberontakan yang dilarang, sebagaimana diterangkan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah.
- Adapun demonstrasi untuk menuntut hak mereka dan berkeyakinan masih ada keterikatan baiat kepada pemerintah muslim tersebut, maka ini menyelisihi metode generasi terbaik dari umat ini (salafush shalih) dalam memberi nasehat kepada penguasa.
Yang jelas dua macam demonstrasi di atas sama-sama keliru, yang pertama tentu lebih parah daripada yang kedua.
Kesimpulan
Tidak semua demonstrasi disebut memberontak pada pemerintahan yang sah, tidak semua demonstrasi jadi disebut perbuatan Khawarij.
Memberontak ada berbagai bentuk:
- Berdasarkan keyakinan kalau pemerintah itu kafir, maka ini prinsip beragamanya Khawarij.
- Ada yang memberontak dengan perbuatan, keluar dari pemerintahan yang sah.
- Ada yang dengan cara menghasut dengan lisan.
Sedangkan demonstrasi ada yang dasarnya:
- Karena ingin menggulingkan pemerintahan yang sah.
- Karena ingin menuntut hak.
Semua bentuk demonstrasi seperti ini tetap keliru dan dilarang dalam Islam, sebab tidak pernah dicontohkan oleh Salafush Shaleh, generasi terbaik dari umat ini.
Semoga Allah beri taufik dan hidayah.
Referensi:
Al-Furuq bayna Manhaj Ahli As-Sunnah wa Al-Jama’ah wa Manhaj Mukhalifihim fii Nush As-Sulthan fii Dhau’ Al-Kitab As-Sunnah. Cetakan pertama, Tahun 1438 H. Shalih bin Muhammad As-Sawih. Penerbit Madarul Wathan li An-Nashr. Halaman 31-32. (Download kitab: http://www.al-tawhed.net/UploadedData/tawhedmedia/bohoth152/books/el%20forouk%20nosh%20soltan.pdf?fbclid=IwAR1hawD9Q4nqfcUupYLqJgxqXZ8H4buzFScTqgd7qHptH3lJoC9Za61CpVE)
Diselesaikan sore hari di Wonosobo, 17 Syawal 1440 H menjelang shalat Maghrib
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com